Selasa, 22 Oktober 2013

Sastra Lumpuhkan Korupsi

Sastra Lumpuhkan Korupsi
Apa masih ada yang takut korupsi? Mungkin setiap orang yang pernah tinggal di Indonesia mengatakan tidak. Terpidana kasus korupsi justru semakin kaya, terkenal layaknya artis, dan binal. Inilah Indonesia dengan kecelakaan sejarahnya. Anak-anak akan lebih mengenal “artis-artis korupsi” daripada R.A Kartini, Chairil Anwar, Suekarno, atau pahlawan lainnya yang tidak sepopuler “artis” tersebut. Menghela nafas sejenak. Jeruji besi tampaknya tidak merontokkan keinginan binal para “artis” itu untuk menjilati uang rakyat sampai habis. Seharusnya yang dijajah dan diperbaiki adalah psikologi dan mental para pelaku korupsi atau yang saya sebut “artis” tersebut. Koordinator Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Febridiansyah pernah lantang mengatakan, ‘’Tidak cukup hanya hakim, jaksa, KPK, dan penegak hukum lainnya yang memiliki komitmen untuk memberantas korupsi, bila tidak ada peran dari masyarakat.”
Banyak yang setuju dengan kalimat ini. Ya…saatnya masyarakat geram dan mengambil langkah kreatif memberantas korupsi, salah satunya lewat dunia sastra. Sastra bisa menjadi senjata ampuh dalam memberantas korupsi. Korupsi menjadi polemik dan bencana. Menghadapi polemik ini, sastra bertugas memberi wawasan segar dan pencerahan kreatif kepada publik, agar menghindar dari jerat korupsi. Karya sastra, baik novel, cerpen, puisi, film sekalipun bertugas untuk mencerdaskan bangsa ini, hendaknya menempatkan antikorupsi sebagai wacana yang terus dikampanyekan. Tanggung jawab sosial sastrawan adalah mengupayakan perbaikan hidup dengan menjelaskan kondisi kritis yang merenggut masa depan bangsa ini. Maka, karya sastra yang menggambarkan perlawanan terhadap tradisi korupsi patut didukung dengan pemikiran dan gerakan kongkret. Kampanye antikorupsi yang meletup akan menjadi perjuangan kreatif penuh risiko, namun menjadi panggilan hidup dan refleksi penting.

POLWANKU, HARAPAN KAUM HAWA

Cita-cita persatuan Indonesia itu bukan omong kosong, tetapi benar-benar didukung oleh kekuatan-kekuatan yang timbul pada akar sejarah bangsa kita sendiri.
Pesan Prof. Moh. Yamin, S.H.
Disampaikan pada Kongres II di Jakarta tanggal 27-28 Oktober 1928 yang dihadiri oleh berbagai perkumpulan pemuda dan pelajar, dimana ia menjabat sebagai sekretaris.

Negara ini sejatinya belum merdeka, jika tindak kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia masih bernafas pada kehidupan senyatanya. Bali, yang termasyhur dengan nuansa damainya pun tidak luput dari “jajahan moral” yang satu ini. Kasus kekerasan pada perempuan dan anak semakin menunjukkan taringnya di Pulau Dewata ini. Dua kasus terakhir yang sempat mencuat hingga ke ranah nasional adalah kasus kekerasan yang dilakukan geng motor ABG dan kasus perkelahian antarpelajar perempuan di salah satu SMA swasta di Denpasar. Mengutip lirik lagu band Armada, mau dibawa kemana Bali dengan fenomena ini?
Perempuan kekinian yang sudah mengantongi hak emansipasi masih memerlukan perlindungan. Tidak jarang sifat perasa dan mudah iba yang umumnya melekat pada diri perempuan ini justru membawa mereka terjebak dalam lingkaran hitam kriminalitas. Tindak kekerasan pada perempuan dan anak dapat saja terjadi di tingkat domestik ataupun publik. Di tingkat domestik kerap terjadi antara suami-istri, majikan kepada PRT, orang tua kepada anak, sedangkan di ranah publik kekerasan dapat terjadi di tempat kerja, di jalanan, institusi pendidikan, kekerasan dalam berpacaran, dan lainnya.
Kekerasan dalam rumah tangga muncul sebagai akibat dari adanya dominasi satu kelompok terhadap kelompok lainnya, dalam konteks kekerasan dalam rumah tangga, kaum lelaki menjadi oppresion kaum wanita, ataupun juga orang tua sebagai oppresion pada anak– anaknya. Kesemuannya ini mengakibatkan pengaruh yang besar akibat perlakuan dari kelompok dominan terhadap kelompok subordinate dalam bentuk suatu perilaku agresi yaitu penganiayaan, maupun penyiksaan. Pengaruh dari KDRT dapat berwujud secara fisik ( luka, cacat) maupun secara psikis (trauma, depresi , rasa rendah diri untuk berhubungan dengan orang lain) bagi kelompok korban, jika tidak ditangani dengan cepat dapat berakibat fatal dalam kehidupan korban.

Bunga, sebut saja demikian, perempuan kelahiran Buleleng ini menyatakan bahwa tindak kekerasan dalam rumah tangga justru dialaminya ketika perekonomian keluarga dan kariernya kian menanjak. Ironis, bila hanya karena pendapatan dan pendidikan perempuan lebih tinggi dari lelaki dalam hidup berumah tangga, menyebabkan perempuan harus menanggung siksaan mental dan fisik selama hidupnya. Namun, Bunga adalah bagian dari beberapa perempuan beruntung yang segera mendapat penanganan psikologis oleh pihak kepolisian melalui tutur halus seorang polwan. Masih banyak perempuan-perempuan lain yang membutuhkan sentuhan hangat ketika sedang bersidang dengan batinnya sendiri dalam menghadapi tindak kekerasan yang dialaminya. 
Berdasarkan data Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A) Provinsi Bali, Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) masih tinggi, 673 kasus tahun 2009, 782 kasus tahun 2010 , dan terakhir sebanyak 627 kasus di tahun 2011. Dengan banyaknya kasus kekerasan ini dan berbagai macam bentuk kekerasan yang menimpa banyak perempuan dan anak di berbagai area, diperlukan perhatian yang serius dari berbagai pihak, baik itu pemerintah, penegak hukum, organisasi masyarakat, maupun masyarakat itu sendiri. Selain itu, juga dibutuhkan kebijakan dan payung hukum yang menjadi dasar untuk penanganan kasus kekerasan tersebut. Penanganan terhadap kekerasan terhadap perempuan tidak hanya cukup dengan hadirnya undang-undang, akan tetapi komitmen, kerjasama dan bukti nyata dari institusi penegak hukum.

"Green Culture" Menuju Bali Organik

Damai adalah kenyaman, asri merupakan anugerah kenikmatan, hijau hadiah upaya pelestarian. Impian Indonesia menjadi Negara Hijau adalah harapan semua elemen masyarakat. Inilah langkah awal Pemerintah Provinsi Bali untuk mewujudkan daerahnya sebagai provinsi hijau, mendeklarasikan diri sebagai Bali Green Province (BGP), 22 Februari 2010.
Beranjak dari angan tersebut, masyarakat wajib mendekatkan diri dengan habitatnya. Memelihara dan melindungi air, udara, dan tumbuh-tumbuhan yang saling bersinergi sebagai sumber kehidupan.
Tantangan nyata kita adalah peningkatan suhu muka bumi (global warming), disebabkan lapisan CO2 yang terbentuk diatmosfir sebagai akibat maraknya penggunaan bahan bakar fosil dalam berbagai kegiatan industri dan ekonomi di dunia. Di sisi lain hutan tropis yang merupakan "paru-paru dunia" semakin berkurang drastis, akibat penggundulan hutan.
Semuanya itu dilakukan atas nama pertumbuhan ekonomi untuk menciptakan kesejahteraan. Wajah sistem ekonomi yang rakus menghantui kelangsungan hidup manusia. Tahun 1999–2005 terjadi peningkatan suhu permukaan bumi. Peningkatan suhu itu menyebabkan pencairan es di kutub. Bila keadaan ini terus berlanjut, diperkirakan pada 2040 sekitar 2.000 pulau tenggelam akibat naiknya permukaan air laut.
Perubahan iklim pun memengaruhi siklus kehidupan manusia. Curah hujan dan kekeringan semakin tajam. Pertanian pun terganggu. Hal ini juga berimbas pada Bali. Dengan luas 5.636 km2, Bali dihuni lebih dari 3,5 juta orang dengan laju pertambahan 1,27 persen per tahun. Namun pada saat tertentu Bali (seperti tahun 2009) mendapat tambahan 2.229.945 wisatawan mancanegara dan 3.521.135 wisatawan Nusantara. Pariwisata memang penyumbang perekonomian terbesar, mencapai 50 persen, sektor pertanian 30 persen, sisanya dari industri kecil dan menengah. Seni budaya dan keindahan alam tetap menjadi daya tarik wisatawan.
Menghadapi tantangan
Kesadaran pada pentingnya menjaga lingkungan belum menjadi gaya hidup masyarakat Bali. Isu lingkungan harus menjadi komitmen bersama. Bila kita mampu menciptakan citra Bali yang bersih, akan berdampak positif. Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Bali pun segera melakukan pengkajian terhadap pabrik daur ulang sampah skala kecil untuk menghasilkan pupuk organik ramah lingkungan. Masyarakat juga membentuk kelompok yang peduli pada kebersihan lingkungan. Ini menjadi langkah awal, sehubungan rencana Pemprov Bali memberikan bantuan sosial (bansos) bidang kebersihan.
Hal itu sejalan dengan sasaran mewujudkan Bali sebagai provinsi organik, di mana proses pertanian dalam arti luas menggunakan pupuk dan pembasmi hama tanaman yang ramah lingkungan.
Hal lain terkait masalah lingkungan, yakni penggunaan pembungkus plastik yang meresahkan alam. Perlu instruksi kepada pusat perbelanjaan dan para pedagang untuk menghindari plastik sebagai alat pembungkus barang yang diperjual-belikan. Pemerintah juga harus menghimbau masyarakat agar menyiapkan tas, seperti dilakoni para orang tua dulu.
Untuk menuju Bali bebas sampah plastik, Pemprov Bali membentuk desa sadar lingkungan dengan membiasakan memisahkan jenis sampah. Sampah plastik yang terkumpul dijual, sedangkan sampah organik diolah menjadi kompos. Maka, bukan pemandangan yang aneh jika melihat anak-anak atau orang tua yang sedang jalan-jalan sambil memungut gelas atau botol plastik. Sampah ini bila dijual dihargai hingga Rp 3.000 per kg.
Pasar swalayan pun digalakkan meminimalkan penggunaan tas plastik, menggantinya dengan kardus. Sedangkan pedagang di pasar tradisional juga diminta menawarkan pada konsumen untuk menggabungkan barang bawaannya, sehingga penggunaan tas platik berkurang.
Poster-poster tentang pentingnya menjaga lingkungan juga dipasang di tempat-tempat strategis, terutama sekolah. Tempat-tempat sampah pun menggunakan warna berbeda sesuai peruntukannya, jadilah sampah sudah terpilah-pilah sejak awal. Harap diingat, plastik yang selama ini dijadikan alat pembungkus itu, tak hancur dalam 1.000 tahun, sehingga merusak struktur tanah.
Volume sampah perkotaan di Bali setiap hari rata-rata 5.094 meter kubik. Ini diatasi Pemprov Bali dengan merintis pengolahan sampah menjadi pupuk anorganik. BLH Bali menggalakkan pengelolaan sampah dengan memisahkan sampah plastik dan sampah organik. Sampah plastik menjadi sumber daya ekonomi, sedangkan sampah organik dimanfaatkan untuk pupuk organik. Tahun 2013 diharapkan Bali bebas sampah plastik.
Di samping itu, guna menambah resapan air, pemerintah menggalakkan pembuatan biopori. Selama dua tahun ini dibuat tujuh ribu biofori, 60 di antaranya di halaman kantor BLH yang relatif tak luas tanpa merusak pemandangan.

Masterpiece Taman Ujung

Senja menjatuhkan gerimis patah-patah yang membuat semakin meronanya jalanan di sekitar desa Ujung, Tumbu-Karangasem Bali. Hawa legang ditambah hiruk pikuk aktivitas sore makin memanjakan mata yang memandang. Sesaat lagi perjalanan ini akan bermuara pada sebuah tempat yang dielukan kaum dunia sebagai istana air, sebuah mahakarya, masterpiece arsitektur.
Decak kagum terus saja mengalir dari penikmat wisata kali ini, baik domestik maupun wisatawan asing. Berusaha mencari tempat yang agak tinggi dengan harapan bisa menikmati pesona Taman Ujung ini di segala arah.  Konsep yang sederhana, sebuah taman yang dikelilingi ribuan percikan air serta bangunan-bangunan khas zaman kerajaan yang pernah berjaya di masanya. Mahakarya yang merupakan salah satu karya unggulan yang dihasilkan Putra Bali terbaik pada abad ke-20, kini dikenal sebagai objek wisata Taman Soekasada Ujung.
Pengunjung mulai mencari celah di antara perbukitan sambil menikmati semilir yang sayup-sayup menidurkan tubuh oleh pesona alam yang natural. Made ngurah (49) kala itu menuturkan banyak hal yang ia ketahui tentang mahakarya yang ada dihadapan kami. Secangkir kopi hangat ditambah klaudan (jajanan khas dusun Ujung) menemani kami menikmati lika-liku sejarah Taman Ujung.
Taman ini adalah salah satu bukti historis monumental dari kebesaran Kerajaan Karangasem di masa lalu. Berdasarkan hasil-hasil penyelidikan arkeologis-historis dapat diketahui bahwa taman ini adalah sebuah contoh hasil akulturasi budaya yang serasi antara arsitektur tradisional lokal (Bali) dengan arsitektur Eropa, yang memancarkan kearifan lokal (local genius). Keunikan lainnya secara historis, bahwa karya ini dihasilkan dalam masa-masa pergolakan (transisi) antara kerajaan di Bali dan suasana penjajahan oleh pihak Hindia Belanda.
Kepiawaian Anak Agung Agung Anglurah Ketut Karangasem, Raja Karangasem dengan kemampuan teknis-arsitektural dan estetik, telah berhasil memanfaatkan bentang alam dan lingkungan di sekitarnya yang berteras-teras, dengan gunung-gunung sebagai latar belakang alami, sumber air, sungai-sungai dan pesisir Pantai Ujung. Dalam pembangunan taman ini, sang raja kemungkinan besar telah menggunakan konsepsi kosmologi masyarakat Bali sebagai landasan ideologis.
Secara kosmologis, pesisir pantai atau laut adalah bagian hilir atau muara (tebenan), adalah tempat menunggalnya segala kekuatan magis yang berasal dari gunung atau bukit, yang k emudian mengalir ke hilir melalui sungai-sungai, seakan-akan secara simbolis membagi-bagikan air kehidupan kepada masyarakat. Selain itu, gunung adalah bagian hulu (luwanan) yang punya kekuatan adikodrati yang tak tertandingi. Sebaliknya, gunung juga tak selamanya merupakan kekuatan alam yang ramah, karena dapat menimbulkan bencana besar secara tiba-tiba, jika ekosistemnya terganggu. Menurut kosmologi masyarakat Bali dan juga masyarakat lainnya di nusantara, gunung adalah dunia arwah para leluhur yang punya kekuatan magis, yang dapat memberikan pengaruh baik-buruk kepada kaum kerabat atau masyarakat yang masih hidup. Dengan dasar ideologi ini, maka Taman Ujung dapat juga disebut sebagai 'Water Palace' yang menyandang makna simbolis-magis-religius seperti yang tampak juga pada lambang kerajaan, yaitu Amerta Jiwa.

Senin, 21 Oktober 2013

"Ngejot" di Ababi

Galungan dan serentet tradisi uniknya mengundang rasa ingin tahu warga untuk melihat dan  mendengar sejarah lisan tentang budaya Bali. Hari suci Hindu yang datang setiap enam bulan sekali selalu menghadirkan senyum sumringah bagi masyarakat Bali maupun di luar Bali. Tidak jarang bertepatan dengan hari suci Galungan ini wisatawan domestik dan mancanegara berlomba mencari sudut terindah untuk memandang kekhidmatan iringan banten dan segerombol warga yang secara bersama-sama menuju pura.

Sebanyak 44 kali telah saya jumpai Galungan di Bali. Perubahan itu selalu ada menghias budaya Bali, termasuk dalam merayakan hari suci Galungan. Sarana pembuat penjor, salah satunya. Dahulu biasa digunakan janur dan hiasan ala kadarnya. Namun, di seputaran kota Denpasar dan Gianyar, penjor yang berdiri tegak menjulang begitu indahnya. Hiasan modern dengan pernak-pernik mengagumkan menjadi fokus mata yang memandang. Tidak berlebihan kiranya apabila pembuatan penjor ini selalu dinanti warga.
Ada satu sisi yang tidak berubah di hari Galungan yang saya amati di kota Karangasem, tepatnya desa Ababi. Sebuah tradisi bersahaja yang membuat warga desa hidup berdampingan dalam damai. Ya..tradisi ngejot (Dharma Santhi) di hari Galungan. Di Bali, ngejot artinya memberikan sesuatu (umumnya makanan) kepada orang lain ketika seseorang mempunyai hajatan atau pada saat hari raya tertentu. Tradisi ngejot ini adalah salah satu bukti nyata bahwa tolong menolong dan saling berbagi masih bernafas begitu panjang. Ngejot ketika hari raya seperti Galungan biasanya bersifat sukarela dan lebih menyesuaikan situasi dan kondisi. Kecendrungan lain yang tampak di desa ini adalah berlakunya tradisi ngejot bukan hanya untuk umat Hindu saja, melainkan untuk umat non-Hindu juga menerima jotan. Semua itu dapat bertahan hanya karena satu landasan yaitu ikhlas. Sangat indah perbedaan itu bukan?

SALURAN KOMUNIKASI DAN ISINYA

Setiap hari kita melakukan komunikasi, bahkan sebagian besar kegiatan dalam kehidupan kita adalah untuk berkomunikasi. Apapun yang disampaikan, entah itu cerita lucu, kisah sedih, atau paparan teori fisika yang rumit, yang paling terutama adalah pesan itu harus bisa dimengerti oleh orang lain. Kalau pesan itu tidak bisa dimengerti, maka kegiatan itu tidak bisa disebut sebagai komunikasi. Secara sederhana, komunikasi dapat didefinisikan sebagai sebuah tindakan mengirimkan pesan yang dapat dipahami oleh orang lain. Di dalam komunikasi lisan, ada dua cara dasar di dalam berkomunikasi, yaitu: komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal. Di dalam komunikasi verbal, kita menyampaikan pesan menggunakan kata-kata(bahasa), sedangkan di dalam komunikasi nonverbal, kita mengirimkan pesan menggunakan tanda-tanda, simbol, sikap tubuh (gesture), ekspresi wajah, nada bicara dan tekanan kalimat.
Istilah komunikasi berasal dari bahasa latin communicasio, dan perkataan ini bersumber pada kata comunis. Arti communis di sini adalah sama dalam arti kata sama makna, yaitu sama makna mengenai suatu hal (Effendi, 1986: 8). Jadi, komunikasi berlangsung apabila antara orang-orang yang terlibat terdapat kesamaan makna mengenai suatu hal yang dikomunikasikan. Bertolak dari fenomena yang digambarkan di atas, maka masalah yang akan disajikan dalam makalah ini adalah parameter saluran komunikasi, isi komunikasi, dan perpaduan pilihan saluran komunikasi.
Parameter Saluran Komunikasi

"SENI" DALAM MABUK

Memang benar orang luar sering menyebut orang Bali itu kreatif. Jiwa seni orang Bali sudah dibawa sejak lahir, entah siapa yang mengasahnya di dalam kandungan. Akar pohon bisa menjadi patung yang mampu dijual puluhan juta rupiah. Orang mabuk pun bisa mengeluarkan jenis musik yang enak didengar. Di mana ada orang mabuk bisa menyanyi kecuali di Bali? Itulah sejarah seni koor (jenis paduan suara) khas Bali yang disebut genjek. Empat atau lebih lelaki Bali bersepakat untuk mabuk. Mereka membeli tuak atau arak (mungkin bir terlalu mahal atau daya mabuknya kurang) lalu berkumpul minum bersama. Acara matuakan ini khas di Bali Timur (Karangasem, Bangli, Klungkung) dan sebagian Bali Utara (Buleleng) meskipun tidak begitu lazim di Kabupaten Jembrana, Tabanan dan Badung. 
Dalam acara mabuk massal yang digelar di Kabupaten Gianyar, pada sabtu, 5 Juni 2010 ini semua orang bisa ngoceh, ngomong apa adanya. Mungkin karena naluri orang Bali sudah begitu dekat dengan dunia seni, ngoceh itu kemudian berirama, sahut-bersautan, dan lama-kelamaan bisa diatur bunyinya. Seni genjek pun lahir, dan pada awalnya memang pendukung seni ini hanya bisa melampiaskan suara dengan sempurna ketika dia mabuk. Jika orang belum mabuk, dia belum berani ikut bernyanyi dengan keras, masih malu-malu, dan teman sebelahnya pasti menyodorkan minuman lebih banyak.Masuknya industri rekaman membuat kesenian ini menjadi terangkat. Seperti halnya musik rap di Amerika yang berawal dari pemabuk yang ngoceh, genjek segera menjadi sebuah industri yang mendatangkan duit bagi senimannya dan mendatangkan untung bagi produser rekaman. Karena seni ini berawal dari Bali Timur, maka genjek Karangasem mendominasi rekaman kaset. Syair pun berkembang. Tidak lagi hanya kehidupan rumah tangga: suami penjudi, suami selingkuh, dan sebagainya. Namun mulai merambah ke tema sosial, seperti basmi narkoba. Iringan musik angklung dalam seni genjek kemudian menimbulkan   inspirasi, bagaimana kalau paduan suara ini diselingi dengan tarian joged. Ide ini berkembang di Bali Utara dan kemudian merambah ke kabupaten lainnya. Dalam pakem seni genjek, sebuah syair akan diakhiri dengan suara serempak: tu ra rit tu jreng …sek…sek… atau irama sejenis itu, yang kemudian musik lalu diambil alih sepenuhnya oleh musik angklung. Nah, di situlah penari joged ditampilkan. Ini tabuh joged yang umum sehingga semua penari joged bisa mengapresiasi musik ini. Grup genjek dari mana pun dan penari joged asal mana pun bisa berkaloborasi. Fenomena tersebut yang melatar belakangi seni genjek berkembang begitu pesat di daerah tujuan pariwisata seperti kawasan Gianyar, dan sekitarnya.
Ada orang kreatif lain, yang tentu saja tidak sedang mabuk, menciptakan syair-syair yang nadanya disesuaikan dengan seni mabuk tadi. Maka dalam perjalanannya seni genjek ini punya syair yang bisa bercerita, meski terbatas pada kehidupan rumah tangga. Namun, musiknya tetap musik mulut dengan pembagian tugas yang jelas: ada yang menyanyi, ada yang menirukan suara kendang, menirukan suara kempul, dan sebagainya. Semua nada dalam gamelan gong Bali dibunyikan dari mulut-mulut pemabuk ini. Kreativitas pun terus berjalan. Masuk para wanita yang ikut menyanyi, supaya sahut-menyahut dalam lagu menjadi lebih hidup. Tiba-tiba masuk pula alat tabuh angklung bambu (gerantangan) yang biasa mengiringi tari joged. Maka seni genjek mengalami perjalanan yang demikian cepat, dari seni mabuk menjadi seni koor khas Bali dengan irama yang demikian enerjik. Apalagi unsur mabuknya kemudian berangsur dihilangkan, karena mereka kemudian sadar bahwa genjek tidak lagi seni untuk pemuas diri sendiri, seni genjek sudah bisa dijual untuk pemuas orang lain. Seni genjek akhirnya resmi menjadi seni tontonan yang tercatat dalam sejarah seni pertunjukan Bali.

ANALISIS WACANA

Bahasa merupakan alat utama dalam komunikasi dan memiliki daya ekspresi dan informatif yang besar. Bahasa sangat dibutuhkan oleh manusia karena dengan bahasa manusia bisa menemukan kebutuhan mereka dengan cara berkomunikasi antara satu dengan lainnya. Sebagai anggota masyarakat yang aktif dalam kehidupan sehari-hari, di dalam masyarakat orang sangat bergantung pada penggunaan bahasa. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa “di mana ada masyarakat di situ ada penggunaan bahasa.” Dengan kata lain, di mana aktivitas terjadi, di situ aktivitas bahasa terjadi pula (Sudaryanto dalam Djatmiko, 1992: 2).
Para linguis biasanya memberikan batasan tentang bahasa sebagai suatu sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang digunakan oleh sekelompok anggota msyarakat untuk berinteraksi serta mengidentifikasikan diri (Abdul Chaer, 1994). Di sisi lain setiap sistem dan lambang bahasa menyiratkan bahwa setiap lambang bahasa, baik kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana saelalu memiliki makna tertentu, yang bisa saja berubah pada saat dan situasi terentu. Atau bahkan juga tidak berubah sama sekali. Namun demikian, biasanya tidak banyak orang yang mempermasalahkan bagaimana bahasa dapat digunakan sebagai media berkomunikasi yang efektif, sehingga sebagai akibatnya penutur sebuah bahasa sering mengalami kesalahpahaman dalam suasana dan kontekstuturannya. Salah satu cara untuk mengetahui tentang hal itu adalah melalui sudut pandang pragmatik.
Berdasarkan latar belakang di atas, dalam makalah ini membahas beberapa masalah, yaitu 1) Bagaimana analisis bahasa berdasarkan pendekatan linguistik struktural dan 2) Bagaimana pandangan analisis bahasa dari pendekatan pragmati? Adapun tujuan penulisan makalan ini adalah mendeskripsikan paradigma pendekatan pragmatik dan pandangan linguistik struktural.

INTERFERENSI DAN INTEGRASI

 Bahasa selalu mengalami perkembangan dan perubahan. Perkembangan dan perubahan itu terjadi karena adanya perubahan sosial, ekonomi, dan budaya. Perkembangan bahasa yang cukup pesat terjadi pada bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kontak pada bidang politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan lainnya dapat menyebabkan suatu bahasa terpengaruh oleh bahasa yang lain. Proses saling memengaruhi antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain tidak dapat dihindarkan. Bahasa sebagai bagian integral kebudayaan tidak dapat lepas dari masalah di atas. Saling memengaruhi antarbahasa pasti terjadi, misalnya kosakata bahasa yang bersangkutan, mengingat kosakata itu memiliki sifat terbuka.
Menurut Weinrich (dalam Chaer dan Agustina 1995:159) kontak bahasa merupakan peristiwa pemakaian dua bahasa oleh penutur yang sama secara bergantian. Dari kontak bahasa itu terjadi transfer atau pemindahan unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain yang mencakup semua tataran. Sebagai konsekuensinya, proses pinjam meminjam dan saling mempengaruhi terhadap unsur bahasa yang lain tidak dapat dihindari. Suwito (1985:39-40) mengatakan bahwa apabila dua bahasa atau lebih digunakan secara bergantian oleh penutur yang sama, dapat dikatakan bahwa bahasa tesebut dalam keadaan saling kontak. Dalam setiap kontak bahasa terjadi proses saling mempengaruhi antara bahasa satu dengan bahasa yang lain. Sebagai akibatnya, interferensi akan muncul, baik secara lisan maupun tertulis.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis mengajukan beberapa rumusan masalah, yaitu: (1) apakah yang dimaksud dengan interferensi dalam kajian bahasa?, (2) apakah yang dimaksud dengan integrasi dalam kajian bahasa?, dan (3) bagaimana kaitan antara interferensi dan integrasi dalam pembelajaran bahasa?
PEMBAHASAN

"Binatang Jalang" berlagu

Syair sederhana tentang kecintaanku pada Chairil membaca kabar  bayang penuh memori rindu tak terduga lelap di pangkuanku, Nada perjuanganmu lindap pelipisku ilusi jemari dengungkan larikmu penuh gairah deru tanda kelahiran tengah berlagu " Sang Binatang Jalang" sembunyikan sajak air matamu, menyibak rahasia senja yang makin tua melukis sisa hari.
Menjemputmu pada sunyi nafasmu, terus berkumandang, hingga kau melagukan melodi prihatin entah siapa lagi setelah, jalan jalang yang menuntunku menyisir desir dalam risauku.