Senin, 01 Desember 2014

warna warni metatah, upacara potong gigi massal

Barisan muda mudi berparas tampan dan ayu memadati pelataran petak/ tempat suci upacara pitra yadnya. Ada seraut ragu dalam wajah muda mudi bali ini. Sebab mereka harus rela 6 gigi bagian depan diratakan. Sepintas terasa mengggelikan. Namun, inilah kewajiban pemuda Hindu di Bali yang sudah menek bajang truna  atau menginjak remaja.



Nuansa damai terasa ketika tabuh gender berkolaborasi dengan lantunan kidung mengiringi prosesi metatah/atau potong gigi secara massal. Nuansa sakral terus memenuhi ruangan tempat potong gigi ini digelar

Metatah secara massal ini digelar warga gianyar dengan melibatkan 132 muda mudi yang berada dalam satu kawitan. Upacara metatah ini diawali dengan rangkaian upacara natab beakaon, hingga ngerajah. Semua tampak khusuk mengikuti ritual keagamaan yang satu ini.
Dari semua prosesi yang digelar, prosesi ngerajah inilah yang paling menarik di perhatian saya. Sebab upacara potong gigi di derah lain di Bali, seperti Karangasem, tidak terdapat proses ngerajah ini. Sangat unik. Pada saat ngerajah, pemangku atau pendeta menuliskan aksara suci di tubuh manusia yang akan metatah. Di antaranya di mulut, gigi, dada, hingga punggung. Hal ini difungsikan untuk menghidupkan aksara suci dalam tubuh, memberikan energi positif bagi manusia itu sendiri. Saya menjadi yakin bahwa dalam tubuh manusia itu ada berjuta-juta aksara yang memenuhi tubuhnya.


Upacara metatah ini sepenuhnya disaksikan oleh orang tua dan kerabat terdekat. sebab metatah ini menjadi kewajiban orangtua kepada anaknya. Sebab keyakinan umat Hindu di Bali bahwa saat metatah ini banyak sekali godaan secara niskala (alam lain) maupun sekala (dunia). Para sangging atau yang memotong gigi tengah mempersiapkan alat-alat yang digunakan, yang telah terlebih dahulu disucikan.  Secara bergantian, beberapa pemuda dan pemudi diratakan giginya.  Hanya 6 gigi bagian adepan atas, terutama gigi taring dan seri.






Metatah ini memiliki filosofi meniadakan sad ripu atau 6 kotoran yang ada dalam tubuh manusia. dengan melaksanakan upacara metatah ini/ secara simbol, manusia telah diarakan untuk semakin bijaksana dalam melangkah. lebih dari itu, semua umat hindu wajib metatah (potong gigi) sebagai simbul mengurangi kepuasan,  keserahakan dan dimaknai pula sebagai pengendalian diri, pengendalian sadripu sehingga tidak menjerumuskan diri ke jalan yang tidak baik.

Gigi tajam ataupun taring selalu dihubungkan dengan sifat-sifat yaitu : 1. kama (keinginan); 2. kroda (kemarahan); 3. lobha (tamak); 4. moha (kebingungan karena gejolak hawa nafsu); 5 mada (kemabukan); dan 6. matsarya (iri hati) menurut Hindu. Keenam hal inilah yang patut dikendalikan oleh umat manusia.

Mengapa tidak semua gigi itu diratakan? dalam Hindu dikenal ajaran rwabhineda, dua hal yang selalu berlawanan. Pertemuan dari kedua hal yang berbeda itu melahirkan kemajuan dan peningkatan. Untuk itu tidak dianjurkan meniadakan indria-indria atau keinginan-keinginan  atau  nafsu-nafsu sepenuhnya. Jika keinginan dikendalikan secara benar dan terarah akan mendorong insan untuk dapat berkembang. Sebaliknya, jika tidak dikendalikan keinginan itu justru menjadi bomerang dalam diri manusia. Dua sifat yang berbeda dan bertentangan ini memang kita dapati di dalam segala wujud atau berbagai-bagai wujud di dunia ini : ada siang ada malam, ada laki ada perempuan, ada baik ada buruk.

Dalam upacara potong gigi massal ini nampak juga beberapa orangtua yang giginya sudah keropos. Dengan langkah gontai, bapak paruh baya ini menaiki tempat upacara potong gigi. Di hadapan pendeta, ia tanpa ragu-ragu memamerkan gigi-giginya yang sudah terlihat rapuh. Sang pendeta bertanya, apa yang bisa saya potong? Semua orang tertawa. Ada semacam anekdok di tengah-tengah keramaian itu. bapak paruh baya ini ternyata tidak memiliki biaya untuk melaksanakan upacara potong gigi ketika ia masih muda dahulu. Berkat bantuan dari umat lainnya, dengan adanya upacara potong gigi secara massal, akhirnya kewajiban bapak ini bisa terlaksana. Inilah kedamaian lain di tengah ritual yang sarat akan budaya.

NI Nyoman Ayu Suciartini

Penulis 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar