Barisan muda mudi berparas tampan dan
ayu memadati pelataran petak/ tempat suci upacara pitra yadnya. Ada seraut ragu
dalam wajah muda mudi bali ini. Sebab mereka harus rela 6 gigi bagian depan
diratakan. Sepintas terasa mengggelikan. Namun, inilah kewajiban pemuda Hindu
di Bali yang sudah menek bajang truna atau menginjak remaja.
Nuansa damai terasa ketika tabuh gender berkolaborasi dengan lantunan kidung mengiringi prosesi metatah/atau potong gigi secara massal. Nuansa sakral terus memenuhi ruangan tempat potong gigi ini digelar
Metatah secara massal ini digelar warga
gianyar dengan melibatkan 132 muda mudi yang berada dalam satu kawitan. Upacara
metatah ini diawali dengan rangkaian upacara natab beakaon, hingga ngerajah.
Semua tampak khusuk mengikuti ritual keagamaan yang satu ini.
Dari semua prosesi yang digelar, prosesi
ngerajah inilah yang paling menarik
di perhatian saya. Sebab upacara potong gigi di derah lain di Bali, seperti
Karangasem, tidak terdapat proses ngerajah
ini. Sangat unik. Pada saat ngerajah, pemangku atau pendeta menuliskan
aksara suci di tubuh manusia yang akan metatah. Di antaranya di mulut, gigi,
dada, hingga punggung. Hal ini difungsikan untuk menghidupkan aksara suci dalam
tubuh, memberikan energi positif bagi manusia itu sendiri. Saya menjadi yakin
bahwa dalam tubuh manusia itu ada berjuta-juta aksara yang memenuhi tubuhnya.
Upacara metatah ini sepenuhnya
disaksikan oleh orang tua dan kerabat terdekat. sebab metatah ini menjadi
kewajiban orangtua kepada anaknya. Sebab keyakinan umat Hindu di Bali bahwa
saat metatah ini banyak sekali godaan secara niskala (alam lain) maupun sekala
(dunia). Para sangging atau yang memotong gigi tengah mempersiapkan
alat-alat yang digunakan, yang telah terlebih dahulu disucikan. Secara bergantian, beberapa pemuda dan pemudi
diratakan giginya. Hanya 6 gigi bagian
adepan atas, terutama gigi taring dan seri.
Metatah ini memiliki filosofi meniadakan
sad ripu atau 6 kotoran yang ada dalam tubuh manusia. dengan melaksanakan
upacara metatah ini/ secara simbol, manusia telah diarakan untuk semakin
bijaksana dalam melangkah. lebih dari itu, semua umat hindu wajib metatah
(potong gigi) sebagai simbul mengurangi kepuasan, keserahakan dan dimaknai pula sebagai
pengendalian diri, pengendalian sadripu sehingga tidak menjerumuskan diri ke
jalan yang tidak baik.
Gigi tajam ataupun taring selalu
dihubungkan dengan sifat-sifat yaitu : 1. kama (keinginan); 2. kroda
(kemarahan); 3. lobha (tamak); 4. moha (kebingungan karena gejolak hawa nafsu);
5 mada (kemabukan); dan 6. matsarya (iri hati) menurut Hindu. Keenam hal inilah
yang patut dikendalikan oleh umat manusia.
Mengapa tidak semua gigi itu diratakan? dalam
Hindu dikenal ajaran rwabhineda, dua
hal yang selalu berlawanan. Pertemuan dari kedua hal yang berbeda itu
melahirkan kemajuan dan peningkatan. Untuk itu tidak dianjurkan meniadakan
indria-indria atau keinginan-keinginan
atau nafsu-nafsu sepenuhnya. Jika
keinginan dikendalikan secara benar dan terarah akan mendorong insan untuk
dapat berkembang. Sebaliknya, jika tidak dikendalikan keinginan itu justru
menjadi bomerang dalam diri manusia. Dua sifat yang berbeda dan bertentangan
ini memang kita dapati di dalam segala wujud atau berbagai-bagai wujud di dunia
ini : ada siang ada malam, ada laki ada perempuan, ada baik ada buruk.
Dalam upacara potong gigi massal ini
nampak juga beberapa orangtua yang giginya sudah keropos. Dengan langkah
gontai, bapak paruh baya ini menaiki tempat upacara potong gigi. Di hadapan
pendeta, ia tanpa ragu-ragu memamerkan gigi-giginya yang sudah terlihat rapuh.
Sang pendeta bertanya, apa yang bisa saya potong? Semua orang tertawa. Ada
semacam anekdok di tengah-tengah keramaian itu. bapak paruh baya ini ternyata
tidak memiliki biaya untuk melaksanakan upacara potong gigi ketika ia masih
muda dahulu. Berkat bantuan dari umat lainnya, dengan adanya upacara potong
gigi secara massal, akhirnya kewajiban bapak ini bisa terlaksana. Inilah
kedamaian lain di tengah ritual yang sarat akan budaya.
NI
Nyoman Ayu Suciartini
Penulis



Tidak ada komentar:
Posting Komentar